Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah saw mengibaratkan orang yang menuntut ilmu itu seperti air hujan yang menimpa tanah. Dan ada tiga jenis tanah yang ditimpa hujan tersebut, dan begitu pula ada tiga jenis manusia yang menerima ilmu. Ada tanah yang bisa menyerap manfaat dari air hujan itu ada juga tanah yang tidak bisa mengambil manfaatnya. Ada orang yang bisa mengambil manfaat dari ilmu ada pula orang yang tidak bisa mengambil manfaat darinya.
Tanah yang pertama adalah tanah yang baik, naqiyyah.
فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتِ الْكَلأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ
Tanah yang naqiyyah adalah tanah yang dapat menyerap air dan bisa menumbuhkan tanaman dan rumput yang banyak.
Begitu juga orang yang pertama. Orang yang nqiyyatun, yaitu orang yang menerima ilmu lalau dia pelajari dan dalami ilmu itu sehingg hati dan pikirannya bercahaya. Dan setelah itu dia AKTIF sebarkan ilmu itu untuk kemanfaatan manusia.
Begitu juga orang yang pertama. Orang yang nqiyyatun, yaitu orang yang menerima ilmu lalau dia pelajari dan dalami ilmu itu sehingg hati dan pikirannya bercahaya. Dan setelah itu dia AKTIF sebarkan ilmu itu untuk kemanfaatan manusia.
وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ ، فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ ، فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا
Ada juga tanah yang ajaadib, yaitu tanah yang mengandung lumpur yang tidak bisa menyerap air tapi bisa menampungnya. Tanah ini bermanfaat untuk sumur, sehingga manusia bisa minum dan memberi ternak mereka minum, juga bisa digunakan untuk mengairi lahan pertanian.
Begitu pula orang ketiga, orang yang ajaadib, yaitu orang yang menerima ilmu dan mendalaminya tapi KURANG AKTIF mengajarkannya. Karena dia tidak rajin turun lapangan, orang lainlah yang akan datang kepadanya. Orang ini bermanfaat bagi manusia lain, hanya saja kurang aktif.
Begitu pula orang ketiga, orang yang ajaadib, yaitu orang yang menerima ilmu dan mendalaminya tapi KURANG AKTIF mengajarkannya. Karena dia tidak rajin turun lapangan, orang lainlah yang akan datang kepadanya. Orang ini bermanfaat bagi manusia lain, hanya saja kurang aktif.
وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى ، إِنَّمَا هِىَ قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً ، وَلاَ تُنْبِتُ كَلأً
Begitu juga orang ketiga, orang qii'aan, yaitu orang yang diberi ilmu tapi kurang mau mendalami dan menghayatinya, sehingga ilmu itu tidak bermanfaat untuknya dan orang di sekitarnya.
Dari tiga jenis tanah di atas kita termasuk jenis tanah yang mana? Dari tiga jenis orang di atas, kita termasuk orang yang mana?
Simak juga kultum lainnya: Cara Benar Menyikapi Kematian
Satu fenomena yang cukup membuat kita sedih di zaman ini adalah rendahnya semangat umat Islam menuntut ilmu. Ilmu seolah menjadi remeh dan tidak penting. Sikap anak remaja dan pemuda Islam tidak pernah benar-benar siap untuk menjadi pintar. Mereka lebih suka santai dan berleha seolah ilmu itu akan datang sendiri tanpa dikaji. Begitu juga sikap orang tuanya, banyak yang beranggapan, bila setelah menikah, punya anak, punya rumah dan kendaraan, menuntut ilmu tidak perlu lagi.
Jadi pantas kita tertinggal dari bangsa lain. Kalau Singapura indeks bacanya 16 sedangkan ktia hanya 0,01. Rata-rata orang Singapura membaca enam belas buku tiap tahun. Sedangkan rata-rata orang Indonesiakita baru akan menamatkan SATU buku setalah hidup seratus tahun.
Kebanyakan hasil kreasi dan teknologi dibanjiri oleh produk luar negeri. Mereka telah membuat keajaiban-kajaiban teknologi sehingga membuat kita tercengang seperti kena sihir. Sehingga setiap produk yang baru keluar selalu kita kagumi dan kita beli. Mereka pencipta, kita yang beli. Mereka maju terus, kita tertinggal. Mereka untung, kita rugi. Padahal Islam mengajarkan menuntut ilmu sepanjang hayat. Sebab hanya dengan ilmu kita bisa tampil dan bersaing di kancah dunia, mengungguli umat lainnya.
Dari permasalahan diatas, lalu kita bertanya, bagaimana cara bangkit? Bagaimana kita bisa menjadi umat terbaik dan kembali melanjutkan tradisi menggilai ilmu seprti generasi terbaik Islam di zaman dahulu?
Tidak ada cara lain kita harus menjadi orang yang naqiyyah orang yang cemerlang atau minimal ajaadib, orang yang bermanfaat seperti tanah yang menampung hujan. Jangan sampai kita menjadi orang yang ketiga, qii'aan orang merugi seperti tanah yang tandus. Orang yang hanya mementingkan hawa nafsu dan jarang memupuk akal dan hatinya. Nauzubillahi min zalik. Kia berlindung kepada Allah dari yang demikian itu.
Bagaimana kita bisa menjadi orang yang naqiyyah dan minimal ajaadib. Dan lebih jauh lagi pertanyaannya, bagaimana negeri kita, muslim terbesar di dunia, bisa menjadi negeri yang naqiyyah dan minimal ajaadib? Setidaknya ada 3 resep mujarab dan manjur untuk menjadi manusia paripurna dan menjadi negara yang mampu meraih tampuk kepemimpinan dunia dan menjadi cahaya bagi manusia.
Pertama, menuntut ilmu dengan bersemangat-antusias
Menuntut ilmu sungguh bermakna. Kenikmatannya sangat banyak dan hasilnya sungguh berkah. Dan dapat pahala.
مَنْ سَلَكَ طَرِيْـقًـا يَبْـتَغِي فِيْهِ عِلْمًا سَهَّـلَ اللهُ لَهُ طَرِيْـقًـا إِلَى الْجَنَّـةِ، وَإِنَّ الْمَـلاَئِـكَةَ لَتَضَعُ أَجْـنِحَـتَهَا لِطَالِبِ الْعِلْمِ رِضًا بِمَا يَصْنَعُ، وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَـسْـتَغْـفِـرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَـا وَاتِ وَمَنْ فِي الأَرْضِ حَتَّى الْحِـيْتَـانُ فِي الْمَـاءِ .
Artinya: “Barang siapa menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu maka Allah memudahkan jalannya menuju Surga. Sesungguhnya para Malaikat membentangkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha atas apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya orang yang berilmu benar-benar dimintakan ampun oleh penghuni langit dan bumi, bahkan oleh ikan-ikan yang berada di dalam air.” (Muttafaq 'alaih)
Anggaplah ilmu itu seperti melihat emas di puncak gunung. Untuk meraihnya kita harus antusias.
Seperti air di samudera yang luas, ia tak akan sanggup kita reguk bila tak memiliki kemauan yang kuat. Maka di dalam bahasa kita, orang sering menggandengkan kata ilmu dan menuntut. Seperti kita menuntut hak kita, begitu pula kita harus menuntut ilmu. Kita butuh kesungguhan, bila tidak mau ilmu itu menjauh.
Kedua, menggunakan segenap indera dan raga kita.
Seorang ulama terkenal Turki abad ke-19 hingga ke-20 yang bernama Sa‘id Nursi Badi‘uz-Zaman, pernah menjelaskan proses mempelajari ilmu. Ia mengatakan,
“Ketahuilah, ilmu itu ... tidak terlihat di dalam tidur, tidak diwarisi dari orangtua dan paman. Melainkan bagaikan pohon yang tidak akan baik kecuali bila ditanam dan tidak dapat ditanam kecuali di dalam jiwa, tidak dapat diairi kecuali dengan belajar ... Tak akan dapat mencapainya kecuali orang yang selalu menggunakan matanya.Mari kita simak punggawa-punggawa ilmu berikut ini. Mereka yang mulia itu namanya bersinar dan menjadi cahaya dan petunjuk jalan manusia.
Apakah seorang yang menyibukkan waktu siangnya dengan mengumpulkan harta dan menyibukkan waktu malamnya berkumpul dengan wanita menyangka akan tampil sebagai seorang faqih? Tidak! Demi Allah, ia tak akan meraih itu sampai ia menuju kepada buku-buku catatannya, menemani tinta-tinta penanya, terus menuntut ilmu siang dan malam, serta menerima kepahitan-kepahitan karena sabar.”
Rajinlah membaca seperti Al-Hasan al Lu’lu-i. Selama 40 tahun beliau tidak tidur kecuali sebuah kitab berada di atas dada beliau. Selalulah ingin mendengarkan ilmu seperti Majduddin Ibn Taimiyyah (Kakek imam mujaddid Ibn Taimiyyah). Ketika beliau hendak masuk kamar mandi, beliau berkata kepada orang di sekitarnya,
"Bacalah kitab ini dengan suara keras agar aku bisa mendengarnya di kamar mandi."
Subhanallah. Semoga Allah merahmati beliau.
Kita juga harus bersemangat mencatat ilmu seperti Al-Imam al-Bukhary tercinta. Dalam semalam, beliau sering terbangun, lalu menyalakan lampu, kemudian menulis apa yang teringat dalam benaknya. Dan setelah beliau hendak beranjak tidur, beliau terbangun lagi, dan melakukan hal yang sama. Dan aktifitas itu sudah menjadi terulang lagi bahkan hingga sampai 18 kali pada malam yang sama.
Seringlah mengulang-ulang ilmu seperti Gholib bin Abdirrahman bin Gholib al-Muhaariby. Beliau telah membaca Shahih Bukhari sebanyak 700 kali seumur hidup beliau. Padahal kitab itu sangatlah tebal dan berjilid-jilid. Semoga kita bisa mengikuti pecinta ilmu itu. Dan bisa menerapkan kebiasaan itu di zaman ini. Sungguh sulit, tapi harus dicoba kalau kita benar-benar ingin bangkit.
Ketiga, adanya peran penguasa dan sistem yang baik
Dukungan penguasa dan sistem yang baik adalah mutlak. Penguasa seperti kepala bagi tubuh, merekalah penggerak dan penentu arah. Bagaimana bisa ilmu akan tersebar bila sistem pendidikan kita materialistik, setiap tahun SPP selalu naik. Harga buku mahal dan sedikit sekali buku yang berkualitas. Tujuan pendidikan sudah bias, menuntut ilmu hanya untuk cari kerja bukan untuk pintar.
Keadaan ekonomi paceklik bagaimana, bisa beli baju seragam; bagaimana bisa enteng memberikan ongkos transportasi; bagaiman bisa makan makanan bergizi; bagaimana bisa kuliah tinggi.
Budaya liberal, bagaiman bisa konsentrasi belajar sementara tayangan TV mengajarkan hidup hura-hura dan senang-senang. Seolah-olah hidup ini hanya untuk kesenangan dunia. Anak-anak kita lebih senang memoles fisik dan menambah aksesoris tubuh dan pakaiannya ketimbang membeli buku dan membacanya.
Teladan sangat sedikit, koruptor malah menjadi artis dan jadi penguasa. Bahkan sampai penegak hukum yang paling agung ketua MK dan ketua KP masuk penjara.
Padahal penguasa adalah penjaga umat, pemelihara, menjadi teladan sehingga bisa hidup tenang tentram di dalam lingkungan yang bernama negara. Kelak Allah akan memintai pertanggung jawabannya, dan mereka yang pertama sekali dipanggil sebelum yang lainnya.
Harusnya penguasa yang baik memberikan segenap fasilitas, mendukung semua kretifitas, kita ingat dulu ada mobil SMK tapi sekarang mati ditelan waktu. Harusnya mereka menggratiskan semua biaya pendidikan sama seperti Islam dulu pernah melakukannya. Manfaatkan sumberdaya yang ada, dari freeport saja kita bisa meraih dananya, bayangkan freeport dapat untung setahun 2000 triliun setara dengan APBN kita. Astagfirullah.
Anda-anda generasi muda adalah lakon perubahan. Bila kelak anda berkuasa, jadilah orang yang memperhatikan ilmu dan pendidikan. Jadilah cahaya. Tak ada negara yang maju hanya dari segi jumlah kekayaan tapi negara maju karena memperhatikan pendidikan.
Dengan adanya peran kita dan peran penguasa mudah-mudahan suatu saaat nanti umat ini kembali berkuasa kembali menarapkan aturan Sang Pencipta yang memuliakan ilmu dan pedidikan sehinga kita bisa tambil kembali menjadi umat terbaik. Kembali menjadi manusia dan negara yang naqiyyah seperti yang diinginkan Rasulullah saw tercinta. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar